Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H. Mohon maaf lahir dan batin

5.27.2008

Benarkah Bahasa yang Menentukan Corak Suatu Masyarakat ?


Kita ketahui bersama bahwa fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat komunikasi sosial. Bahasa adalah wahana yang kita gunakan dalam kita berinteraksi antaranggota. Dengan demikian, setiap anggota atau masyarakat dipastikan memiliki dan menggunakan alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada masyarakat tanpa bahasa, dan tidak ada pula bahasa tanpa masyarakat. Berkaitan dengan itu, mana yang lebih dulu ada, bahasa atau masyarakat? Mana yang lebih menentukan dari keduanya? Bahasa menentukan corak suatu masyarakat, atau masyarakat menentukan corak suatu bahasa? Umumnya orang cenderung memilih jawaban yang kedua yakni masyarakat menentukan corak suatu bahasa”.

Berbeda dengan pendapat di atas, ada dua orang ahli, Whorf dan Sapir berpendapat bahwa bahasalah yang menentukan corak suatu masyarakat. Pendapat ini dinyatakan melalui hipotesisnya yang terkenal dengan nama hipotesis Whorf-Sapir. Beranjak dari hipotesis ini, ada sebuah artikel dalam suatu media massa yang isinya agak provokatif yakni, ”Bahasa yang Merusak Mental Bangsa”. Ada tiga persoalan dalam bahasa Indonesia yang dikemukakan dalam artikel tersebut yaitu: (1) masalah kata sapaan, (2) masalah kala (tenses), dan (3) salam (greeting).


Masalah Kata Sapaan. Kata sapaan dalam bahasa Indonesia (Bapak, Ibu, Saudara) meminjam kata dari perbendaharaan hubungan kekerabatan/famili (bapak, ibu, saudara). Hal ini tampaknya ada suatu dampak yang signifikan, yakni mengakibatkan masyarakat pemakainya memiliki sifat familier dan nepotis. Mungkinkah berkembangnya nepotisme di negeri ini disebabkan oleh perilaku bahasa ? Jawabannya masih harus dikaji secara cermat dengan data yang lengkap.

Masalah Kala. Masalah kedua yang juga dikemukakan dalam artikel tersebut adalah masalah kala (tenses). Bahasa Indonesia sebagai bahasa tipe aglutinatif memang tidak mengenal kala (tenses). Hal ini telah mengakibatkan masyarakatnya kurang begitu peduli waktu dan kurang menghargai waktu atau kurang disiplin dalam masalah waktu. Kenyataan memang banyak yang menunjukkan kebenaran prasangka demikian. Jam karet memang hampir merupakan budaya bangsa. Akan tetapi apakah penyebabnya memang betul dari perilaku bahasa Indonesia yang tidak mengenal tenses ? Apakah bahasa-bahasa lain yang setipe dengan bahasa Indonesia perilaku bangsanya juga sama dengan perilaku bangsa Indonesia? Jawabannya sudah barang tentu tidak spontanitas, tetapi harus diteliti dan dibuktikan dengan data yang lengkap dan otentik.

Masalah Salam. Salam kita yang paling populer adalah Apa kabar ? atau Halo, apa kabar ? Yang menjadi persoalan adalah samakah perilaku bangsa yang menggunakan salam Apa kabar ? dengan perilaku bangsa yang menggunakan salam How do you do ? Dampak pemakaian kata do tampaknya berbeda dengan pemakaian kata Apa kabar ? Kata do memiliki sugesti untuk berbuat sesuatu, sedangkan apa kabar memiliki sugesti untuk ”memburu berita”.
Bangsa yang menggunakan How do you do ? sangat terbiasa bekerja dan bekerja, misalnya di dalam perjalanan dengan bus atau kereta api selalu tidak luput dari aktivitas membaca buku. Sebaliknya, bangsa yang menggunakan salam Apa kabar ? sangat umum dijumpai selalu ngobrol di dalam perjalanan yang sejenis. Apakah ini merupakan bukti bahwa perilaku bangsa ini telah ditentukan oleh perilaku bahasanya, khususnya dalam menggunakan salam ? Jawabannya harus diteliti lebih lanjut, agar ketahuan benar salahnya hipotesis Whorf-Sapir tersebut (Suhaeni:26/4).

Tidak ada komentar: